Di ujung utara benua, aku telah tiba di Aureole, tempat yang disebut surga oleh orang-orang, tempat bersemayamnya jiwa-jiwa. Aku pun berbincang dengan kawan-kawan lama di sana.
~Flamme Sang Penyihir Agung.
Risalah yang ditinggalkan Flamme Sang Penyihir Agung ini menjadi pembuka anime Sousou no Frieren. Menjadi clue ke mana kisah Frieren, si protagonis penyihir elf ini akan dibawa.
Menariknya, cerita anime ini dimulai dari akhir petualangan penaklukkan Raja Iblis yang dimenangkan oleh Frieren dan kawan-kawan kelompok pahlawan. Dari petualangan besar ini, Frieren kembali meniti perjalanan yang sama meskipun dengan tujuan yang berbeda. Konsep yang jarang digunakan dalam seri utama anime. Biasanya konsep cerita yang secara kronologi dibalik seperti ini lebih sering digunakan dalam sekuel atau spin-off anime.
Karena mengusung konsep seperti ini, maka flashback cerita tak kalah penting dengan cerita utama. Untungnya sutradara Keiichirou Saitou dan penggawa Madhouse tidak menurunkan kualitas flashback ceritanya.
Relativitas Waktu
Dalam menaklukkan Raja Iblis, kelompok pahlawan membutuhkan waktu 10 tahun. Meskipun waktu yang dihabiskan semua anggota pahlawan sama, tetapi perspektif masing-masing berbeda. Bagi Himmel dan Heiter yang merupakan ras manusia, 10 tahun kebersamaan kelompok pahlawan adalah waktu yang panjang. Namun, bagi Frieren yang seorang elf yang bisa hidup ribuan tahun menganggapnya waktu yang singkat.
Jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, angka harapan hidup penduduk Indonesia di usia 73,6 tahun. Artinya jika Himmel dan Heiter orang Indonesia, mereka menghabiskan 13,58% hidupnya bersama kelompok pahlawan. Sementara, jika Frieren kita anggap usianya 1000 tahun saja (usia tepatnya belum terungkap) maka ia hanya menghabiskan 1% hidupnya bersama kelompok pahlawan. Jadi wajar jika Frieren merasa hubungannya dengan kelompok pahlawan begitu singkat.
Pemaknaan pada Sesuatu
Perbedaan mendasar perspektif tentang waktu membuat perilaku dan tindakan ras manusia dan elf berbeda secara eksistensial. Salah satu contohnya, manusia pada umumnya suka membuat dan memaknai simbol-simbol atau tanda (semiotik). Sedangkan Frieren yang merupakan ras elf cenderung memandang sesuatu apa adanya (leterlek). Hal ini tercermin pada sikap Himmel yang senang dibuatkan patung kelompok pahlawan oleh kerajaan. Sementara Frieren mengkritik pembuatan patung itu karena hanya buang-buang uang.
Frieren merasa patung hanya sebatas objek materiel yang mungkin tidak lebih dari sekedar pajangan. Sedangkan Himmel, memaknai patung sebagai salah satu bukti keberadaan kelompok pahlawan agar tidak dilupakan. Berbeda lagi bagi Raja dan rakyatnya yang bisa memaknainya sebagai bentuk rasa terima kasih dan tonggak sejarah keberhasilan umat manusia melawan iblis yang selama ini ditakuti.
Kesadaran untuk Lebih Memahami Manusia
Frieren menyadari bahwa meskipun ia telah hidup lama, tapi ia belum memahami manusia yang selama ini hidup berdampingan dengannya. Karena itu, selain meneliti tentang sihir, Frieren juga tergerak untuk memahami lebih dalam tentang manusia.